TOLERANSI MEMPERKOKOH PERSATUAN DAN KESATUAN
Berbagai perayaan dan ibadah Natal dilakukan cukup meriah dilakukan di berbagai tempat dan bahkan diinisiasi oleh negara dan berlangsung dengan aman. Namun masih saja di bebarapa daerah ada saja yang masih bersikukuh menantang dengan berbagai alasan untuk mencegah berlangsungnya acara perayaan dan ibadah Natal.
Kita mendengar dan menyaksikan di media bahwa untuk Natal tahun 2024 lalu, masih terdengar beberapa daerah di mana orang Kristen yang tinggal di tengah-tengah penduduk yang tidak setuju jika orang Kristen mengadakan ibadah Natal. Bahkan menurut seorang oknum yang kemungkinan tokoh masyarakat di tempat tersebut yang muncul di media sosial, menyatakan bahwa apa yang dilakukan itu dalam rangka ingin menegakkan peraturan dan hukum. Bahkan apa yang dilakukan oknum itu didukung ketua Rukun Tangganya RT, yang memerintahkan supaya pemimpin Kristen itu mempelajari peraturan perundang-undangan, bahwa ibadah itu perlu adanya ijin pemerintah. Cukup aneh bila orang yang ingin beribadah harus memiliki ijin, ibadah itu kepentingan pribadi dengan Tuhan, entah dilakukan bersama atau dilakukan pribadi. Tetapi itulah yang terjadi yang sempat viral di media sosial.
Namun, di tempat Lembaga Pelayanan Iman & Doa (PID) yang mendapat undangan ibadah Natal yang diwakili Pdt. Pudjianto sebagai pembicara, berlawanan dengan yang terjadi di sementara daerah yang masyarakatnya melarang tersebut. Justru ketika itu kepala desa dan segenap tokoh agama lain, jauh sebelum jam ibadah dimulai sudah berdatangan, dengan pakaian khas keagamaan masing-masing dengan antusias. Mereka duduk sebagai tamu ditempatkan di deretan paling depan pada acara tersebut. Yang luar biasa, tatanan ibadah dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak terasa pujian untuk kemuliaan Tuhan itu adalah suatu tatanan beribadah. Semua mengikuti acara Natal itu dengan riang gembira. Dan Tema yang dipilihnya adalah “BERSAMA TERANG AKU BERJALAN”.
Untuk menyesuaikan dengan konteks di mana perayaan dilangsungkan maka Pdt. Pudjianto tidak menggunakan berbagai aksesoris yang mencolok, seperti memakai toga, kolar dan sejenisnya namun memakai batik dan blangkon, di mana orang Jawa bisa menerimanya bahwa itulah pakaian khas Jawa. Sementara pesan yang disampaikan di sekitar prinsip-prinsip bagaimana berjalan di dalam terang itu seperti apa dijelaskan oleh pdt. Pudjianto, sumber terang itu siapa, dan orang yang hidup dalam terang itu semestinya bagaimana? Rupanya apa yang dijelaskan Pdt. Pudjianto menyentuh semua yang hadir bahwa memang jikalau ingin hidup dalam terang harus melakukan prinsip-prinsip tersebut. Bila dirangkum maka khotbah tersebut berisi:
- Jika orang memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan maka di dalam hidupnya akan ada Kasih, Sukacita, dan damai sejatera.
- Sedangkan orang yang memiliki hubungan yang baik dengan sesama, akan terlihat dalam hidupnya adanya kesabaran, kebaikan dan kesetiaan,
- Lantas orang yang di dalam dirinya ada penyerahan kepada Tuhan, ada kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.
Tanggapan Kepala Desa ketika diberi kesempatan memberikan sambutan, menunjukan bahwa di desa yang dipimpinya, Sumber Agung, ingin mewujudkan wilayahnya adalah gambaran sebagai Indonesia mini, di mana dikembangkan toleransi, karena dengan toleransi memperkokoh kesatuan dan persatuan. Sebagai anak bangsa di Negara Kesatuan Indonesia ini, harus saling menghargai keyakinan, suku dan bangsa yang berbeda-beda. Namanya Bhineka Tunggal Ika, itulah Indonesia. Kiranya ini menjadi contoh di daerah lain, bahwa toleransi itu penting demi kesatuan dan persatuaan bangsa.